Jan 27, 2019

SOP (Standard Operating Procedure) Dalam Pandangan Islam


SOP atau Standard Operating Procedure merupakan sebuah aturan yang berisi tata laksana untuk melakukan muamalah. Saya sanggup membeli mobil ini, akan tetapi anda harus menguruskan balik nama kepemilikannya. Keberadaan pengurusan balik nama ini dalam fiqih disebut dengan istilah “syarat ketentuan terjadinya jual beli”. Para fuqaha’ sepakat kebolehan menetapkan syarat, asal tidak lebih dari satu, dan sifatnya syarat adalah harus menguatkan terjadinya peralihan kepemilikan barang. Kebolehan penetapan syarat sebagaimana dimaksud ini, berlaku umum untuk konteks jual beli klasik. 

Dewasa ini, proses jual beli tidak lagi didominasi dengan pola pertemuan antara penjual dan pembeli secara langsung. Terkadang, jual beli harus terjadi dalam kondisi beda majelis. Bahkan, dalam perkembangannya, majelis khiyar tidak lagi didominasi harus melalui satu pertemuan. Bahkan pertemuan demi pertemuan, majelis demi majelis, harus dilalui oleh pihak yang melakukan transaksi. Tujuan utama dari terjadinya majelis-majelis ini pada dasarnya adalah sebagai upaya memenuhi tujuan dasar dari transaksi, yaitu “keuntungan yang bisa dijamin.”

Jadi, pernyataan “deal” terjadinya transaksi menjadi tidak satu majelis lagi. Di tengah proses menuju negosiasi harga yang memerlukan beberapa kali pertemuan ini, terkadang muncul pihak ketiga yang ternyata juga melakukan proses penawaran barang juga. Contoh misalnya adalah akad penentuan tender proyek dan CV selaku kontraktor pelaksana. Mekanisme lelang tender terkadang bahkan harus terjadi. Itupun masih harus ada ketentuan lain berupa standard operating procedure (SOP) yang harus dijalani oleh masing-masing peserta apabila terpilih menjadi pemegang tender. 

Persoalan fiqih yang sering timbul  adalah: pertama, konsepsi lelang yang terdiri dari peserta CV dan menyerupai bai’ najasy (jual beli dengan provokasi harga). Kedua, adalah SOP yang terdiri dari beberapa item yang seolah menyerupai jual beli tender dengan beberapa syarat, dan dalam hal ini seolah bertentangan dengan pendapat fuqaha’ terdahulu. 

Dalam kesempatan tulisan ini, kita tidak berbicara tentang masalah bai’ najasy, karena sudah pernah kita kaji di kesempatan tulisan terdahulu. Yang menarik adalah meninjau konsep fiqih terhadap SOP ini. Apakah ia masuk sebagai unsur jual beli dengan dua syarat sebagaimana yang secara sharih (jelas) dilarang dalam hadith, ataukah ia dianggap sebagai satu syarat saja sebagai SOP? Inilah yang menarik dalam kajian-kajian fiqih kontemporer dewasa ini. 

Sebagai ilustrasi masalah, misalnya agar Pak Joko dapat menerima pekerjaan tender, maka Pak Joko harus memiliki sebuah organisasi yang terdiri atas CV. Keberadaan CV harus dibuktikan dengan akta notaris pendirian. Selanjutnya, Pak Joko harus melaporkan profil CV-nya. Selain itu, Pak Joko harus mengajukan sebuah rencana konstruksi dengan harga bersaing ke pihak manajemen proyek. Tentu dalam rencana usulan ini berkaitan dengan biaya akhir kebutuhan proyek, perhitungan kekuatan konstruksi, berapa lama pengerjaan, proses rekruitmen tenaga. Sudah pasti isi daripada usulan akan dibuat semaksimal mungkin. Berangkat dari sini, lalu ditetapkan standard operating procedure (SOP) apabila usulan Pak Joko diterima. Menariknya adalah: ada berapa syarat yang terdapat dalam SOP pengajuan proyek itu? Lebih dari satu, bukan? 

Menariknya adalah SOP ini merupakan langkah yang mau tidak mau harus dijalani sebagai bentuk langkah kehati-hatian. Mana mungkin pihak yang mengajukan tender mau rugi akibat kecerobohannya dalam melepaskan proyek ke CV yang tidak kredibel dalam pelaksanaan proyek? Melepaskan proyek ke CV tanpa supervisi adalah bagian dari langkah ketergesa-gesaan  dan kecerobohan yang berujung pada penyesalan. Tindakan kecerobohan merupakan yang dilarang dalam syariat kita. Allah SWT berfirman di dalam QS. Al-Hujurat: 6:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila ada orang fasiq datang kepada kalian dengan membawa sebuah kabar, maka bertabayyunlah kalian agar kalian tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum sebab ketidaktahuanmu sehingga kalian menyesal terhadap apa yang pernah kalian lakukan.” (QS. al-Hujurāt: 6)

Salah satu bentuk tabayyun dalam muamalah adalah pemberlakuan SOP di dalam proyek. Bila sesuai dengan SOP, maka akad berlanjut. Namun, apabila tidak sesuai dengan SOP, maka akad menjadi batal. Dalam hal ini, kiranya, SOP adalah merupakan satu paket “qadliyah.” Jadi, SOP tidak dipandang sebagai beberapa unsur syarat, melainkan ia dipandang sebagai satu paket prosedur syarat. Dengan demikian, telah terjadi pergeseran makna tentang penyertaan dua syarat yang dilarang dalam jual beli kepada inti utama tujuan dari dilakukannya jual beli itu sendiri, yaitu: keuntungan yang bisa dijamin. Jika keuntungan manfaat barang tidak bisa dijamin, maka masuk unsur jual beli yang dilarang. Sebagaimana hadith Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

نهي النبي صلى الله عليه وسلم عن ربح ما لم يضمن. أخرجه الإمام أحمد وأصحاب السنن من حديث عبد الله بن عمرو

Artinya: “Nabi SAW melarang laba selagi tidak terjamin.” (HR Ahmad dan Ashabu al-Sunan dari Abdullah bin Amru)

Sampai di sini maka kesimpulan sementara tentang kedudukan SOP dalam fiqih muamalah adalah dipandang sebagai satu paket syarat sehingga tidak dipandang sebagai unsur per unsur. Manfaat penetapan SOP dalam muamalah adalah merupakan perintah dari Allah SWT sebagai wujud dari konsepsi tabayyunWallahu a’lam bi al-shawab.


Muhammad Syamsudin, Tim Peneliti dan Pengkaji Bidang Ekonomi Syariah, Aswaja NU Center PWNU JATIM

0 Komentar:

Post a Comment